Penduduk asli Taiwan
Penduduk Pribumi Taiwan adalah penduduk pribumi Taiwan. Mereka termasuk bangsa Austronesia yang sudah ada di Taiwan sebelum imigrasi bangsa Han pada tahun 1600-an.
Sekarang sebagian besar suku-suku bangsa yang diakui oleh Republik Cina hidup secara terkonsentrasi di daerah pegunungan Taiwan dan menuturkan bahasa-bahasa arkhais Taiwan atau juga disebut bahasa-bahasa Formosa yang berkerabat dengan bahasa Melayu-Polinesia dan merupakan cabang-cabang tersendiri bahasa Austronesia. Populasi total penduduk ini berjumlah sekitar 400.000 pada tahun 2004.
Republik Rakyat Cina menyebut bangsa-bangsa ini sebagai Gaoshan dan menghitung mereka sebagai salah satu suku bangsa resmi dari 56 suku bangsa Tiongkok. Di Taiwan, kata Kaoshan dipakai sebagai istilah untuk merujuk kelompok-kelompok pribumi yang dilihat hidup di pegunungan Taiwan, berbeda dengan istilah Pingpu.
Sejarah suku bangsa pribumi
Taiwan disebut oleh banyak ahli bahasa dan linguistik sebagai negeri asal bahasa Austronesia. Dipercayai bahwa bahasa dan kebudayaan Austronesia berasal dari Taiwan sekitar 6.000 tahun karena perbedaan yang sangat tajam dengan bahasa-bahasa Austronesia lainnya di Asia sebelah selatan. Bukti linguistik menunjukkan bahwa bahasa-bahasa Formosa lebih ragam di Taiwan daripada bahasa-bahasa Austronesia lainnya.
Ahli bahasa menyadari pemisahan linguistik yang lebih awal menandakan pemisahan dan permukiman yang paling awal. Menurut pemerintah Republik China, ada 11 suku di Taiwan yang memenuhi syarat untuk mendapat status suku, tetapi studi lapangan menunjukkan bahwa mungkin ada sebanyak 26 kelompok linguistik. Dan suku-suku Babuza, Popora, Hoanya, Siraya, Taokas dan Pazeh dimasukkan dalam studi bidang Jepang sampai 1945.
Arsip-arsip VOC Belanda menyediakan catatan-catatan terawal tentang kehidupan di Taiwan. Mereka melaporkan telah berjumpa dengan suku-suku bangsa di lading barat dan suku-suku bangsa lainnya di sebelah selatan dan tenggara.
Suku-suku tanah datar
Orang pribumi tanah datar sebagian besar tinggal di tempat desa sedenter yang dikelilingi dengan tembok pertahanan bambu. Desa-desa di Taiwan selatan lebih banyak didiami daripada lokasi lain. Beberapa desa mendukung penduduk sebanyak 1.500 orang, yang dikelilingi dengan desa-desa satelit yang lebih kecil.
Desa Siraya misalkan dibangun tempat tinggal yang terbuat dari lalang dan bambu, dan berada pada ketinggian 2 meter dari atas tanah pada tiang-tiang, dengan masing-masing rumah tangga mempunyai gudang untuk hewan ternak. Menara pengawasan ditempatkan di desa untuk bisa mengawasi keluar dan memberikan peringatan jika ada kelompok pengayau datang dari suku-suku pegunungan.
Mereka mempunyai konsep kepemilikan komunal, dengan rangkaian lingkaran konsentris sekitar masing-masing desa. Lingkaran paling dalam dipakai sebagai tempat berkebun dan menanam buah-buahan yang disusul dengan lingkaran tanah kosong di sekeliling ini. Lingkaran kedua dipergunakan untuk menanam tanaman sayur-sayuran dan bahan untuk penggunaan eksklusif suku. Lingkaran ketiga dipakai hanya untuk berburu dan merupakan ruang rusa bagi penggunaan suku.
Konsep administrasi perdesaan tanah datar dimasukkan secara menonjol dalam kepemerintahan Qing Taiwan kelak. Suku tanah datar memburu rusa berbintik-bintik dan muntjak, namun mereka juga bercocok tani tanaman millet. Gula dan padi ditanam juga, tetapi kebanyakan untuk dibuat minuman beralkohol.
Banyak suku tanah datar merupakan masyarakat matriarkhal. Laki-laki menikah ke dalam keluarga seorang wanita setelah masa pra-pernikahan di mana wanita bebas menolak sejumlah laki-laki semau si wanita. Sampai kedatangan Geraja Reformasi Belanda, pasangan menikah jika mereka sudah menginjak usia 30-an dan sudah tidak mampu mengerjakan pekerjaan berat lagi. Hampir semua suku di Taiwan memiliki pembagian jenis pekerjaan menurut jenis kelamin. Wanita melakukan pekerjaan jahit-menjahit, masakan dan bertani, sedangkan laki-laki memburu dan mempersiapkan diri untuk mengayau. Laporan awal bangsa Eropa sering menyebutkan kaum pria malas, namun mereka tidak mempertimbangkan keuntungan pembagian kerja ini. Kaum wanita sering ditemukan memegang jabatan sebagai Pendeta atau yang memiliki hak berhubungan dengan Dewata dan dunia supranatural.
Suku-suku tanah tinggi
Sedikit yang diketahui mengenai keadaan para suku pribumi Taiwan dari dataran tinggi sebelum mereka dikunjungi oleh para penjelajah dan misionaris dari Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kekurangan data ini terutama diakibatkan oleh karantina Qing atas daerah di sebelah timur garis yang tidak boleh didatangi.
Kontak antara kaum Han dan para suku yang tinggal di pegunungan biasanya ialah karena mereka mencari kapur Barus, sebuah zat kimia yang diambil dari pohon kapur Barus yang dipakai sebagai bahan obat-obatan. Pertemuan antara mereka biasanya berakhir dengan dipenggalnya kepala sang Han. Para anggota suku tanah datar seringkali dipakai sebagai penterjemah untuk berdagang antara para pedagang Han dan para anggota suku-suku tanah tinggi. Para suku pribumi ini berdagang kain, kulit, dan daging. Bahan-bahan ini dibarter besi dan senapan. Besi sebagai bahan dasar dipakai untuk membuat parang-parang untuk berburu dan mengayau para musuh.
Penelitian lapangan pertama mengenai budaya para suku tanah tinggi dipelopori pada tahun 1897 oleh seorang ahli antropologi Jepang Ino Kanori, yang kemudian hari bergabung dengan kawannya Torii Ryuzo. Karya yang diterbitkan oleh kedua pria ini merintis ilmu antropologi modern Taiwan. Ino beragumentasi untuk mendukung hak-hak kaum pribumi Taiwan dan berpendapat bahwa akal budi mereka tidaklah lebih rendah, bertentangan dengan sumber-sumber Tionghoa, meski Ino juga menulis bahwa mereka lebih mudah diatur di bawah sebuah kekuasaan kolonial. Penelitian awal oleh para pakar Jepang ini menghasilkan penciptaan delapan suku Taiwan, Atayal, Bunun, Saisiat, Tsou, Paiwan, Puyuma, Ami dan, Pepo (tanah datar). Penemuan mereka diterima oleh Gubernur Jepang, Kodama. Penelitian pada masa depan menemukan kesalahan pada klasifikasi mereka sebab Atayal berarti ‘saya’ dan Yami ternyata menyebut diri mereka sendiri ‘Tao’, seperti ‘yami’ dalam bahasa Tao artinya adalah “kita/kami”. Kemudian suku Paiwan disebut Ruval dan Batsul, sebuah istilah yang juga digunakan bagi kaum Rukai. Kemudian Puyuma dinamakan menurut kota Beinan dan bukan nama suku yang sebenarnya. Meski kaum Pepo juga dikenali, mereka tidak dilindungi, sementara Pong So No Daoo (Pulau Anggrek (Orchid Island) atau Lanyu), tempat asal Tao, ditutup secara hermetis dari dunia luar sampai tahun 1930-an, dan hanya boleh dimasuki oleh para ilmuwan dan ahli antropologi.
Hanya sedikit hal yang berubah bagi para suku tanah tinggi ini sampai masa pendudukan Jepang pada tahun 1895. Ketika orang-orang Jepang sampai di Taiwan, mereka memiliki rencana-rencana muluk-muluk untuk mengubah Taiwan menjadi jajahan teladan, sebuah model bagi ambisi-ambisi colonial lainnya pada masa depan. Demi mengeploatasi kekayaan alam, orang-orang Jepang harus mengkategorisasikan para penduduk pribumi dan membatasi mereka pada daerah-daerah reservasi. Kaum-kaum pribumi dibatasi dari pergaulan dengan masyarakat umum yang hidup di tanah datar dan dipaksa untuk memakai pakaian tradisional mereka supaya membatasi klaim-klaim teritorial mereka. Kampanye-kampanye awal untuk menundukkan kaum pribumi biasanya sangat kejam dengan suku Taroko yang menderita pengeboman terus menerus dari kapal-kapal perang dan pesawat terbang yang menjatuhkan gas mustard. Mulai tahun 1910, pemerintahan Jepang berusaha memberikan kaum pribumi sebuah identitas Jepang. Mereka membangun sekolah-sekolah di desa-desa di pegunungan yang dijaga oleh pejabat kepolisian/kepala sekolah. Sekolah-sekolah ini mengajari matematika, etika, bahasa Jepang, dan pelajaran praktik. Atribut administratif suku pribumi ini menjadi sesuatu hal yang diwariskan di bawah pemerintahan Jepang dan membuat hubungan kebudayaan Taiwan semakin kabur dan rumit.
Mendekati tahun 1940, 71% dari anak-anak kaum pribumi Taiwan duduk di bangku sekolah dan kebudayaan Jepang mengganti kebudayaan pribumi. Istilah 'Takasago zoku sebagai nama untuk menyebut mereka. Pemerintahan Jepang telah menginvestasi banyak waktu dan uang untuk menghilangkan beberapa tradisi yang mereka anggap kurang baik seperti tattoo, pembunuhan anak-anak, dan pengayauan.
ref: wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar